Labels

Tuesday, September 20, 2016

Begini Proses Assessment Hutan yang Difungsikan Hutan Tanaman Industri

Ilustrasi hutan. Sumber: belantara.or.id
Kebakaran hutan belakangan menjadi kabar yang sering kita dengar dari media massa. Perusahaan pemilik lahan konsesi acapkali menjadi pihak tertuduh oleh publik yang geram, terutama mereka yang menjadi korban ‘kabut asap’. Terlepas dari polemik siapa yang salah, marilah kita membahas dengan kepala dingin, tentang kondisi hutan yang dijadikan lahan konsesi itu seperti apa yang sebenarnya.

Hutan dibagi ke dalam beberapa density/kepadatan berdasarkan
High Carbon Stock (HCS) study, yaitu high density, middle density, low density. Area low density merupakan hutan yang isinya semak belukar, tidak ada nilai ekologis yang tinggi, misalnya tidak ada spesies langka (endangered species) yang tinggal di sana, tidak ada spesies pohon yang dilindungi pemerintah dan worldwide.

Maka area untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah lahan yang low density, karena dianggap sebagai degraded land atau lazimnya disebut lahan kritis. Perusahaan bisa membangun lahan tersebut sebagai wilayah konsesi, entah untuk keperluan bahan baku kertas, sawit, hingga pertambangan (batu bara atau minyak).

Namun tidak serta merta izin diberikan dengan mudah, ada serangkaian proses yang harus dilalui perusahaan, yakni assessment High Carbon Stock (HCS) dan High Conservation Value (HCV) untuk tingkat internatsional, sedangkan pemerintah Indonesia melalui peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tentang Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

Assessment tersebut untuk menentukan apakah hutan yang mengalami kritis harus direstorasi, atau bisa diolah sebagai HTI. Termasuk memperhatikan aspek sosial dan ekologinya.

Faktor Penyebab Degraded Land

Ada beberapa faktor yang menyebabkan lahan kritis dan kualitasnya menjadi low density area. Lahan kritis bisa jadi tadinya adalah hutan alam, yang kemudian terjadi kebakaran baik secara alami (petir atau kemarau berkepanjangan) dan tidak alami (ilegal logging, clearing land, dsb).

Lahan kritis tersebut sebelum berubah fungsi sebagai HTI, harus dipastikan bahwa tidak ada masyarakat yang bersedia mengupayakannya. Perusahaan pun apabila sudah mendapatkan izin, harus menyisakan 30% lahan untuk keseimbangan ekologi.

Jadi total yang boleh diolah adalah 70% saja, luasan ini termasuk lahan yang secara moral dihibahkan perusahaan untuk masyarakat, baik di dalam maupun sekitar wilayah konsesi.  

Ironisnya, ada regulasi pemerintah untuk masyarakat yang memperbolehkan membakar area hingga maksimal 2 hektar. Misalnya pada Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 15/2010, tentang Perubahan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 52/2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat Kalimantan Tengah, pemerintah daerah memberi izin bagi warga setempat untuk membuka lahan dengan cara dibakar.

Pada dasarnya aturan ini untuk mempermudah warga yang memiliki modal dan sumber  daya terbatas dalam mengelola lahan untuk perekonomiannya. Namun regulasi pemerintah ini sudah terlanjur dijadikan local wisdom.

Dampaknya seperti kita ketahui saat ini, regulasi tersebut malah bisa menjadi boomerang yang berujung kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sejatinya, tanpa teknologi canggih, tak ada satupun orang yang mengetahui bahwa lahan yang dibakar itu tidak akan melebihi 2 hektar.

Jika karhutla sudah terjadi, kita hanya bisa berharap hujan turun secepatnya, karena jika tidak ada hujan, harapan masyarakat adalah bantuan dari pemerintah dan perusahaan untuk menerjunkan pasukan pemadam kebakaran beserta teknologi canggihnya seperti heli Superpuma.


Sumber:


No comments:

Post a Comment