Ilustrasi hutan. Sumber: belantara.or.id |
Kebakaran hutan belakangan menjadi kabar yang sering kita
dengar dari media massa. Perusahaan pemilik lahan konsesi acapkali menjadi
pihak tertuduh oleh publik yang geram, terutama mereka yang menjadi korban ‘kabut
asap’. Terlepas dari polemik siapa yang salah, marilah kita membahas dengan
kepala dingin, tentang kondisi hutan yang dijadikan lahan konsesi itu seperti
apa yang sebenarnya.
Hutan dibagi ke dalam beberapa density/kepadatan berdasarkan
High Carbon Stock (HCS) study, yaitu high density, middle density, low density. Area low density merupakan hutan yang isinya semak belukar, tidak ada nilai ekologis yang tinggi, misalnya tidak ada spesies langka (endangered species) yang tinggal di sana, tidak ada spesies pohon yang dilindungi pemerintah dan worldwide.
High Carbon Stock (HCS) study, yaitu high density, middle density, low density. Area low density merupakan hutan yang isinya semak belukar, tidak ada nilai ekologis yang tinggi, misalnya tidak ada spesies langka (endangered species) yang tinggal di sana, tidak ada spesies pohon yang dilindungi pemerintah dan worldwide.
Maka area untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah lahan
yang low density, karena dianggap sebagai
degraded land atau lazimnya disebut
lahan kritis. Perusahaan bisa membangun lahan tersebut sebagai wilayah konsesi,
entah untuk keperluan bahan baku kertas, sawit, hingga pertambangan (batu bara
atau minyak).
Namun tidak serta merta izin diberikan dengan mudah, ada
serangkaian proses yang harus dilalui perusahaan, yakni assessment High Carbon Stock (HCS) dan High Conservation Value (HCV) untuk tingkat internatsional, sedangkan
pemerintah Indonesia melalui peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
RI tentang Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.
Assessment tersebut untuk menentukan apakah hutan yang
mengalami kritis harus direstorasi, atau bisa diolah sebagai HTI. Termasuk memperhatikan
aspek sosial dan ekologinya.
Faktor Penyebab
Degraded Land
Ada beberapa faktor yang menyebabkan lahan kritis dan
kualitasnya menjadi low density area.
Lahan kritis bisa jadi tadinya adalah hutan alam, yang kemudian terjadi
kebakaran baik secara alami (petir atau kemarau berkepanjangan) dan tidak alami
(ilegal logging, clearing land, dsb).
Lahan kritis tersebut sebelum berubah fungsi sebagai HTI,
harus dipastikan bahwa tidak ada masyarakat yang bersedia mengupayakannya. Perusahaan
pun apabila sudah mendapatkan izin, harus menyisakan 30% lahan untuk keseimbangan
ekologi.
Jadi total yang boleh diolah adalah 70% saja, luasan ini
termasuk lahan yang secara moral dihibahkan perusahaan untuk masyarakat, baik di
dalam maupun sekitar wilayah konsesi.
Ironisnya, ada regulasi pemerintah untuk masyarakat yang
memperbolehkan membakar area hingga maksimal 2 hektar. Misalnya pada Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 15/2010, tentang
Perubahan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 52/2008 tentang Pedoman
Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat Kalimantan Tengah, pemerintah
daerah memberi izin bagi warga setempat untuk membuka lahan dengan cara
dibakar.
Pada dasarnya aturan ini untuk mempermudah warga yang
memiliki modal dan sumber daya terbatas dalam
mengelola lahan untuk perekonomiannya. Namun regulasi pemerintah ini sudah
terlanjur dijadikan local wisdom.
Dampaknya seperti kita ketahui saat ini, regulasi tersebut
malah bisa menjadi boomerang yang berujung kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Sejatinya, tanpa teknologi canggih, tak ada satupun orang yang mengetahui bahwa
lahan yang dibakar itu tidak akan melebihi 2 hektar.
Jika karhutla sudah terjadi, kita hanya bisa berharap hujan
turun secepatnya, karena jika tidak ada hujan, harapan masyarakat adalah
bantuan dari pemerintah dan perusahaan untuk menerjunkan pasukan pemadam
kebakaran beserta teknologi canggihnya seperti heli Superpuma.
Sumber:
No comments:
Post a Comment